SALAM BUDAYA!!!

Selamat datang! Blog ini adalah sarana untuk mengenang kisah-kisah masa lampau di Padukuhan Seni Tibu Bunter; salah satu tempat yang pernah menjadi tempat kelahiran seniman-seniman teater modern, khususnya di Jembrana.

Saya merasa, catatan sejarah yang pernah terjadi di Padukuhan Seni Tibu Bunter ini harus dipertahankan. Minimal, ia tetap ada dalam diri seniman-seniman yang pernah "dilahirkan" di padukuhan ini. Padukuhan Seni Tibu Bunter harus tetap menjadi saksi bisu atas sebuah proses kreatif seniman-seniman, khususnya seniman teater modern .

Wassalam....

CATATAN UNTUK SAHABAT (Mencari Kunci Dikegelapan)

Seorang sahabat setiap kali bertemu selalu menceritakan masalah yang menimpa dirinya, dari masalah rumah tangga, pekerjaan, tetangga kurang bersahabat. Semuanya mendadak menjadi suatu masalah ketika sudah berada dihadapannya.

Suatu sore sahabat datang ke rumah. Dia berkeluh mengenai dirinya di dalam menghadapi kehidupan yang serba sulit dalam rumah tangganya, tanpa memberikan sedikitpun waktu kepadaku untuk ikut berbicara. Mungkin aku bisa memberikan sedidikit saran padanya. Namun, hal itu tidak pernah terjadi.

Istriku datang membawa kopi untuk kami berdua. Sahabat tetap bercerita panjang lebar, sementara aku hanya bisa mengangguk-angguk seolah mengiyakan semua perkataannya. Padahal di dalam hati kecilku, aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakannya.

Entah sudah berapa lama sahabat berbicara. Waktu sudah begitu larut, tapi sahabat terus saja berbicara. Aku mulai bosan. Suaranya kudengar samar-samar karena mataku sudah mulai mengantuk.

*****

Pagi-pagi hujan lebat mengguyur seluruh kota tempat tinggalku. Semua warga resah menunggu hujan reda untuk berangkat mengerjakan tugas mereka masing-masing. Tiba-tiba saja sahabat datang sambil berteriak-teriak. Katanya, dia kehilangan bolpoinnya entah dimana. Karena tidak ingin diganggu, aku bergegas mengambil sebuah bolpoin di dalam tas kemudian memberikannya. Tetapi rupanya, itu tidak membuat sahabat pergi. Ia malah bergegas menuju serambi depan kemudian duduk di tempat biasanya. Ini di luar dugaanku. Dia bercerita panjang lebar bagaimana bolpoinnya bisa hilang. “Pasti anak-anak yang menggambil bolpoinku. Atau mungkin juga istriku yang mengambilnya untuk dibawa ketempat rapat dengan para ibu-ibu PKK," demikian sahabat dengan bersungguh-sungguh menceritakan bolpoinnya yang hilang layaknya seorang dalang memainkan wayang. Sampai kopi yang disuguhkan istriku habis, masih juga ia berbicara. Aku sangat jengkel karena waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 wita. Aku harus berangkat kerja, malu dengan teman-teman yang duluan datang ke tempat kerja, apalagi hari ini aku piket. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena menghargai sahabat. Aku hanya mendengarkan ia bercerita panjang lebar penuh semangat, sementara aku hanya bisa manggut-manggut pura-pura mengerti apa yang diceritakannya.

Hujan sudah mulai reda. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 wita. Sahabat belum juga beranjak. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku potong pembicaraannya. “Maaf sahabat, aku harus pergi kerja dulu,” kataku. Tiba-tiba saja sahabat bergegas beranjak dari tempat duduknya. ”Ya aku juga harus pulang. Banyak hal yang harus kukerjakan hari ini di rumah dan di tempat kerjaku,” katanya seraya meninggalkan aku yang masih terpaku dan kebingungan.

Aku terlambat datang ke tempat kerja padahal hari ini aku yang harus bertugas bersih-bersih di tempat kerja alias piket. Semua teman-teman sudah menunggu di pintu luar dengan raut wajah yang tidak menentu menunggu tempat kerja mereka dibuka. Sudah menjadi kesepakatan di tempat kerjaku, siapa yang piket, dia yang membawa kunci. Aku jadi tidak enak, malu dan salah tingkah.

Aku membuka pintu ruang tempat kami bekerja tanpa berbicara sepatah katapun. Semua teman memasuki ruang kerja sambil memandangiku dengan penuh tanda tanya. Salah satu teman juga mengolok-olok diriku. Itu hal yang sudah biasa dilakukan dil ingkungan tempat kerja kami, sebuah komunitas yang dibangun sejak lama. Ada rasa bersalah dalam diriku. Tetapi yang sangat menjengkelkan dan membuat hatiku tidak bisa terima adalah sahabat yang datang pagi-pagi dan tidak tahu aturan dan tata persahabatan. Benarkah aku harus menyalahkan dia? Tidak! Aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Lagi pula, aku tidak terbiasa memperpanjang suatu masalah apalagi hanya masalah sepele. Apapun yang dikatakan teman-teman sekerja, aku siap menerima karena memang ini adalah salahku.

Semua ruangan kusapu. Gelas-gelas yang berserakan kukumpulkan, kemudian aku mencucinya. Setelah bersih, barulah kami memulai aktivitas keseharian di tempat kerja.

Sore hari setelah pulang kerja, aku beristirahat sambil mendengarkan musik kesukaanku. Belum habis satu lagu, tiba-tiba sahabat datang menemuiku dengan wajah muram tanpa berkata apa-apa. “Ada apa lagi ini?” tanyaku. Sahabat diam tidak menjawab, hanya matanya menatapku seolah-olah masalah besar telah terjadi dan menimpa dirinya. “Ada apa? Kok diam?" tanyaku lagi. Sahabat tetap saja diam. Tetapi, sorot matanya memandangiku penuh tanda tanya. Ia menanggis sesenggukan seperti anak kecil kehilangan mainannya. Aku jadi bingung, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya terpaku diam tidak berkata apa-apa, hanya memandangi sahabat menangis. Suasana jadi kaku, kami diam. Lama sekali suasana hening dan kaku diantara kami berdua.

Beruntung, istriku datang membawakan dua gelas kopi untuk kami. "Silakan diminum kopinya sambil melanjutkan ngobrol,” demikian istriku berkata. Akhirnya kami ngobrol sambil menikmati kopi dan ketela rebus. Entah berapa lama kami ngobrol. Aku tersadar karena cahaya matahari mulai menyengat tubuhku. Aku terbangun, tetapi tidak kutemukan sahabat

Semenjak pertemuan malam itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Ia tidak pernah lagi ke rumah. Beberapa kali aku mencoba mencari kerumahnya, ia juga tidak pernah kutemukan. Aku tanyakan kebeberapa teman yang mengenalnya, juga tidak ada yang tahu. Berbulan-bulan sudah aku mencari sahabat, tetapi tetap saja tidak ketemu. Entah dimana sahabat sekarang berada. Semua tempat yang biasanya dikunjungi sahabat, ku cari. Tetapi tetap saja hasilnya nihil. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Kehilangan obrolannya, ngenyelnya dan kegilaannya. Aku putus asa.

Setelah beberapa tahun, akhirnya aku mendapat kabar dari seorang teman bahwa sahabat sekarang tinggal di sebuah kota dan menjadi orang yang sangat sukses. Aku sangat senang sekali mendengar berita itu. Tetapi aku masih ragu. Aku tanyakan alamat dan nomor telepon sahabat kepada teman yang membawa berita. Katanya, dia tidak tahu alamat dan nomor telpon sahabat. “Kalau alamat dan nomor telponnya aku tidak punya. Tetapi katanya, dia sekarang ada di sebuah kota dan menjadi orang yang sangat sukses. Ia punya kebun kelapa sawit yang sangat luas,” demikian teman. Aku jadi bingung. Bukan lantaran sahabat sudah menjadi orang yang sangat sukses atau punya kebun kelapa sawit luas, tetapi benarkah sahabat sekarang masih ada di dunia ini? Seandainya dia ada di sebuah kota, kenapa tidak pernah berkabar atau paling tidak pulang ke kampung halaman sesekali, kemudian singgah ke rumah teman-teman semasa di kampung?

Rasa penasaran membuat aku kembali ingin mencarinya. Aku tanyakan alamat lengkap sahabat di sebuah kota kepada semua orang yang masih ada hubungan dengan sahabat, yaitu teman-teman dan saudara-saudara sahabat. Tetapi tak satupun yang bisa memberikan informasi jelas mengenai keberadaan sahabat sekarang.

Pencarianku selama ini sia-sia. Setiap informasi yang mengatakan dimana sahabat berada telah kudatangi, tetapi tetap saja aku tak pernah menemukannya karena informasi yang ku dapat setengah-setengah alias tidak lengkap. Dimanakah sahabat? Sampai sekarangpun aku tidak pernah bertemu sahabat. Entah dimana dia berada sekarang.

0 komentar:

Ragam

Sekedar Catatan

Mengenai Saya

Foto saya
Jembrana, Bali, Indonesia

Ngobrolin Padukuhan


 

Design by Amanda @ Blogger Buster